Sabtu, 27 Oktober 2007

Penciuman Elektronik Ingin Menggeser Hidung


Perangkat sistem penciuman elektronik buatan Wisnu.

Sebenarnya, tidak gampang merancang sistem penciuman buatan. Pasalnya, hidung yang sarat dengan saraf penciuman itu tergolong organ paling sulit untuk dibuat tiruannya, setelah organ perasa alias lidah. Ini diakui oleh Benyamin Kusumoputro, Ph.D., Kepala Laboratorium Kecerdasan Komputasional Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia di Depok.

Meskipun demikian bukan berarti tidak mungkin ditiru. Bisa saja, hanya belum mampu menyamai 100% peran hidung beneran. Maklum, saraf sistem penciuman manusia memang ajaib, sanggup membedakan puluhan ribu aroma berbeda. Lagi pula mekanisme sistem penciuman dari sono-nya amat efektif dalam memilah dan membedakan perlagai aroma. Ibaratnya, bisa mendeteksi satu molekul aroma di antara puluhan ribu molekul di udara!

Apa pun wujud rancangan sistem hidung elektronik itu, yang pasti tersimpan tujuan mulia. Yakni untuk mendeteksi dan mengklasifikasikan aroma secara otomatis. Sadar atau tidak, tersembunyi juga keinginan menggeser peran hidung sebagai pengontrol kualitas dalam industri yang membutuhkan pengenalan aroma, terutama industri minuman, kosmetik, dan minyak wangi.

Ini bukan berarti meremehkan indera penciuman kita sendiri. Masalahnya, sistem penciuman kita amat dipengaruhi kondisi perasaan sesaat dan kesehatan. Artinya, ketelitian dan kontrol kualitas pengenalan aroma bisa terpengaruh. Belum lagi kalau petugas kontrol kualitas aroma mendadak terserang pilek, bisa-bisa indera penciumannya tidak berfungsi dengan baik.



Tidak mirip hidung

Jangan bayangkan sistem penciuman dengan saraf tiruan ini berbentuk serupa hidung. Sesungguhnya yang coba ditiru lebih pada fungsinya. Bahkan secara kasat mata sama sekali berbeda, hanya berupa rangkaian kabel yang ruwet dan program komputer (perangkat lunak).



Gambar ulang: Yds
Skema peralatan sistem penciuman elektronik.



Ada tiga bagian dalam hidung elektronik ala UI ini, yakni sistem sensor, sistem elektronik, dan sistem jaringan neural buatan (JNB). Sistem sensor dan elektroniknya sebagai perangkat kerasnya, dan sistem JNB sebagai perangkat lunaknya. Sistem JNB sebagai perangkat lunak meliputi sistem jaringan neural buatan propagasi balik (JNB-PB), Probabilistic Neural Network (PNN), dan Fuzzy Learning Vector Quantization (FLVQ) sebagai pengklasifikasi.

Semua ini sebetulnya hanya memperbaharui sistem yang pernah dikembangkan di Laboratorium Jaringan Saraf Tiruan, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Depok, tahun 1996. Awalnya hanya digunakan empat buah sensor kristal kuarsa terlapis membran dan jaringan saraf buatan propagasi balik sebagai "otak"-nya. Jaringan saraf buatan itu sesungguhnya berupa program komputer. Dalam perkembangan selanjutnya telah dicoba menggunakan delapan buah sensor, yang kemudian dikembangkan dengan 16 buah sensor. Maka terciptalah sistem hidung elektronik dengan sensor 16 buah dan jaringan saraf buatan berbasis PNN.

Sistem sensor yang berjumlah 16 buah itu dibuat dengan frekuensi dasar 20 MHz, meningkat dibandingkan dengan yang terdahulu, yaitu 10 MHz. Perubahan frekuensi ini untuk meningkatkan akurasi dalam mengenali aroma. Lagi pula dengan frekuensi 20 MHz, penurunan frekuensinya bisa dicacah dengan lebih akurat.

Teknologi saraf penciuman pertama kali dibuat oleh Prof. Toyosaka Moriizumi dari Tokyo Institute of Technology pada 1986 yang dipatenkan setahun kemudian. Namun, alat dengan delapan buah sensor itu, menurut Benyamin yang murid Moriizumi, salah konsep. Sebab, sensor dikembangkan mengikuti jenis aromanya sehingga kalau aromanya berubah, sensor harus diganti.

Jumlah sensor, menurut Benyamin, berpengaruh terhadap kemungkinan jumlah jenis aroma dan keakuratan pendeteksiannya. Ketepatan kita dalam mengenali aroma tertentu, seperti halnya mengenali seseorang atau suatu benda, akan lebih tinggi kalau kita memandang dan berusaha mengenali orang atau benda itu lebih dari satu sisi (bahasa matematikanya, dimensi).

Tidak ada komentar: